Padahal untuk cerpen tu max nya cuma 1500 kata. Nah gua edit. Edit. Edit. dari sebelas halaman menjadi tujuh halaman dengan jumlah kata 2086 kata. Itu tuh udah mentokk banget tuh. Menurut gua kalao harus di batasi ntar imajinatif kita sedikit rada-rada pekong. Hehehehe menurut gua aja sih. Lu pada mau baca kan? Nih gua kasih liat.
KAKAKKU
PAHLAWANKU
“Yah yang murah yang murah yah…Tiga sepuluh tiga
sepuluh… Sayang anak… sayang anak” Suara riuh pedagang pasar rakyat pacu jalur
menambah heboh event pacu jalur kali ini. Setiap sudut-sudut kota Taluk Kuantan
di isi oleh kios-kios pedagang yang tidak hanya berasal dari dalam kota namun
berasal dari berbagai daerah. Segala jenis barang di tawarkan di sini.
Masyarakat Taluk Kuantan pun tidak kalah antusias
dalam menyambut event pacu jalur tahun ini. Semua tumpah ruah memadati arena
pacu jalur. Semua kalangan datang dari berbagai pelosok kecamatan yang ada di
Kabupaten Kuantan Singingi. Dari ujung ke ujung semua berbaur menjadi satu
Event Pacu Jalur yang
rutin di adakan setiap tahun memang menjadi daya tarik pariwisata. Kebudayaan
yang turun temurun di lestarikan sampai saat ini. Telah menjadi kepuasaan
tersendiri melihat jalur-jalur andalan berlaga di arena pacu.
Di antara riuh gemuruh
suara sorak sorai penonton di tepian narosa berdirilah seorang dokter muda di atas pompong P3K yang melaju. Seorang anak
pacu terjatuh dari jalur dan kehabisan nafas tepat pada pancang ke tiga. Pompong
P3K segera menyelamatkannya.
Anak pacu yang ternyata
seorang pemuda tersebut di tangani
dengan intensif oleh para perawat di bawah komando seorang dokter muda. Dengan
cekatan ia memberikan pertolongan. Namun si anak pacu tak kunjung sadar.
“Hubungi petugas
lapangan untuk mempersiapkan ambulan. Pasien harus segera kita bawa ke UGD”
perintah dokter muda.
Pompong P3K pun segera
melaju menuju tepian narosa. Di sana telah menanti sebuah ambulan. Si anak pacu
tersebut di gotong menggunakan tandu dari pompong P3K ke mobil ambulan. Dokter
muda tersebut ikut mengantarkan si anak pacu.
“Ngiiiiiung…” Suara serine
ambulan membelah padatnya kota Teluk Kuantan. Beberapa kali si supir harus
menambahkan bunyi serine dengan kelakson ditengah hiruk pikuk suasana pasar
yang di padati oleh masyarakat yang seakan enggan memberikan peluang kepada
ambulan untuk melaju.
Sesampainya di UGD, si
anak pacu lansung di berikan tindakan. Dokter muda yang ikut bersamanya tadi
juga ikut dalam bilik yang kini telah ditutup tirai hijau di sekelilingnya. Bau
amis darah bercampur padu dengan baun obat-obatan
“Alhamdulillah” terdengar suara pujian di bilik
tempat si anak pacu tadi menerima tindakan, bersamaan dengan terbukanya salah
satu sisi tirai hijau yang sedari tadi menutup apik kejadian yang ada di
dalamnya. Ternyata si anak pacu telah sadarkan diri. Dokter muda sibuk mengecek
catatan yang di berikan suster kepadanya. Di sisi lain bangkar, tampak dua
orang suster sibuk melepaskan alat-alat
medis yang membaluti tubuh si anak pacu.
“Bapak tidak perlu
memikirkan apa-apa dulu, sebentar lagi keluarga bapak akan datang” senyum
dokter muda tersebut kepada si anak pacu ramah.
“Apakah saya terluka
parah dok?” Tanya si anak pacu sambil memegang kepalanya.
“Bapak tidak apa-apa.”
Jawab dokter muda tersebut.
“Terimakasih doker
telah menolong saya”balas si anak pacu sambil meraih tangan kanan dokter yang
masih memegang laporan.
“ Iya pak, itu semua sudah menjadi tanggung
jawab dan amanah bagi saya…”
***
“Wah, jalurnya laju
sekali.” Kataku sambil sibuk mengamati jalannya pacu jalur dengan teropong yang
sejak tadi tergantung di leherku. Dari kejauhan ku lihat tukang onjai (anak pacu yang berdiri paling
belakang) kedua buah jalur menari dengan heboh. Anak-anak pacu tampak dengan
semangat mengayunkan pengayuh.
“Mana?” Tanya kakakku.”Coba
kakak lihat” lanjutnya sambil mengambil paksa teropong yang sedang aku gunakan.
Hari ini adalah hari ketiga
berlansungnya even pacu jalur. Sorak sorai penonton menambah riuhnya suasana
siang itu. Aku mengamati semua potret itu dari atas pompong P3K. Hari ini aku
menemani kakakku bertugas menjadi dokter jaga di pompong P3K. Kakakku adalah
seorang dokter. Ia baru saja menyelesaikan pendidikannya pada salah satu universitas
ternama di Jakarta dan kini bertugas menjadi dokter di RSUD kotaku.
Aku memang sangat dekat
dengan kakakku. Kemanapun ia pergi ia selalu membawaku. Suatu sore, ia
mengajakku makan soto di sebuah pondok soto di tepi sungai kuantan.
“Sari, kalau kakak sudah
tidak ada lagi Sari mau menggantikan kakak menjadi Dokter?” Tiba-tiba kakak bertanya
kepadaku sebuah pertanyaan aneh yang sulit aku mengerti.
“Tentu saja aku mau.
Aku ingin seperti kakak.”jawabku polos “Memangnya kakak mau pergi kemana?
Mengapa kakak tidak mengajakku?” Tanyaku
“Sari kakak memiliki
sebuah benda di paru-paru kakak” kata kakakku tanpa menghiraukan pertanyaanku.
Wajahnya tampak sangat serius.
“Apa itu kak? Bolehkah
aku melihatnya?” tanyaku sangat penasaran.
“Mmh, mungkin tidak
Sari” jawab kakakku sambil tersenyum. Aku tidak mengerti apa yang sedang di
bicarakan kakak. Terlalu banyak pertanyaan yang berputar-putar di kepalaku saat
itu.
“Ada anak pacu hanyut!!!” tiba-tiba seorang
perawat berseru sambil mengarahkan telunjuknya ke arah anak pacu yang terjatuh
dari jalurnya. Dengan segera pompong P3K melaju ke arah si anak pacu tersebut.
“Hati-hati
mengangkatnya” kata kakakku sambil ikut menolong mengangkat si anak pacu yang kini
pingsan itu.
“Woy… anak pacu hanyut!!!”terdengar
suara sayut-sayut dari penonton. Ternyata salah seorang anak pacu dari jalur lawan
juga terjatuh. Segera pompong P3K diarahkan ke seberang untuk menolong si anak pacu. Sesampainya di seberang
ternyata sudah ada dua orang anak pacu lainnya yang menolong si anak pacu yang
terjatuh. Segera dua orang anak pacu yang menolong tadi mengangkat temannya
yang pingsan ke atas pompong P3K.
“BRENGSEK,” hardik
salah seorang anak pacu yang mengenakkan ikatan kepala kepada para petugas P3K.
Badannya yang kurus kini basah kuyup karena menolong temannya tadi. “Temanku
hampir mati karena kalian semua.” Lanjutnya sambil menunjuk-nunjuk temannya
yang kini sedang di beri pertolongan.
“Woy, brengsek, dasar
dokter tidak becus!!! Cepat tolong teman saya!!!” Tiba-tiba anak pacu yang
tidak menggunakan ikatan kepala mencekram kera baju kakakku seakan-akan hendak
memukul kakakku. Beberapa petugas P3K berusaha melerai.
“Kakak” bisikku pelan.
Ku lihat kakak berusaha melepaskan cengkrman si anak pacu. Kakak dengan tenang
berbicara kepada anak pacu tersebut dengan sabar dan tenang.
“Di sini saja Sari”
kata bapak pengemudi pompong tiba-tiba kepadaku sambil mengusap lembut
kepalaku.
“Pak mengapa mereka
memarahi kakakku?” tanyaku balik kepada bapak pengemudi pompong. Sebenarnya banyak
sekali pertanyaan yang muncul di kepalaku. Entah mengapa pertanyaan itu yang
meluncur dari mulutku. Sekilas kulihat bapak pengemudi tersenyum kepadaku.
Cengkraman
si anak pacu mulai melemah. Perlahan anak pacu tersebut melepaskan
cengkramannya. Kakakpun segera memeriksa keadaan kedua anak pacu. Tampak wajah
kelelahan menghiasi wajah kakak. Dengan dibantu beberapa perawat kakak terus
memberikan tindakan kepada kedua anak pacu yang masih tergeletak pingsan di
atas lantai pompong. Kedua anak pacu yang sedari tadi mengamuk-ngamuk kini
terdiam melihat para petugas yang sibuk.
“Tolong
kamu pompa dadanya” perintah kakakku kepada seorang perawat. Perawat tersebut
pun segera menekan-nekan dada si anak pacu.
“uhuuuuk…
uhuuuuk….” Tiba-tiba si anak pacu terbatuk-batuk. Wajahnya memerah seketika.
Dua orang anak pacu yang telah menolongnya tadi lansung menghampirinya.
“Tolong
hubungi petugas lapangan! Pasien ini harus segera di beri pertolongan lebih
lanjut.” Perintah kakakku kepada seorang perawat dan pompong P3K pun segera
merapat ke tepian narosa. Anak pacu yang pertama kali terjatuh tadi masih belum
sadarkan diri.
Sesampainya
di tepian narosa, si anak pacu yang masih belum sadarkan diri tadi di bawa ke
dalam ambulan dengan menggunakan tandu. Beberapa petugas menemaninya di dalam
ambulan. Ambulan pun segera melaju membelah keramaian.
“Sari”
kakakku menghampiriku sambil tersenyum. Guratan lelah masih tampak di wajahnya.
“kamu tidak apa-apakan?” tanyanya dengan nada lembut. Guratan lelah masih saja
menghiasi wajahnya. Tampak bulir-bulir keringat mengucur di wajahnya.
“Aku
tidak apa-apa kak.
“Dok,” tiba-tiba pundak
kakakku ditepuk oleh seseorang yang ternyata si anak pacu yang tadi mencengkram
kera baju kakak. “maaf tadi saya terlalu emosi.” Lanjutnya dengan nada
penyesalan.
“Ya,
saya mengerti” jawab kakak sambil tersenyum ramah.
“Sekali
lagi terima kasih banyak dok.” Kali ini anak pacu yang tadi terjatuh dari jalur
yang berbicara. Kedua temannya memapah tubuhnya. Wajahnya terlihat agak pucat.
“ya
sama-sama. Memang itu tugas saya di situasi seperti ini.” Jawab kakakku.
“baiklah
dok, kami mohon pamit dulu. Sekali lagi saya minta maaf dok.” Kata si anak
jalur yang mencekram kera baju kakakku tadi. Kakak hanya membalas dengan
anggukan. Mereka bertigapun pamit dan berlalu meninggalkan pompong.
“Mengapa
kakak mau menolong mereka tadi? Padahalkan mereka jahat kepada kakak.” Kataku
saat pompong P3K telah meninggalkan tepian narosa.
“Karena
itulah tugas seorang dokter Sari. Kita harus menolong sesama kita tanpa
membeda-bedakan siapa yang kita tolong itu. Biarkan saja mereka menjahati kita
yang penting kita sudah berniat baik untuk mereka,” kata kakakku mencoba
menasehatiku. Tiba-tiba ia bertekuk di depanku, “ingat sari, sesuatu yang baik
itu tidak akan pernah sia-sia. Kamu mengerti?” lanjutnya sambil mengenggam
tanganku. Aku membalasnya dengan anggukan pertanda aku paham apa yang di katakan
kakakku.
“Dokter baik-baik saja?
Anda terlihat pucat siang ini.” Tiba-tiba seorang perawat mendekati kakakku.
“Saya baik-baik saja,
hanya sedikit kelelahan.” Jawab kakak
“BOOOOOM” bunyi cagak
pertanda jalur telah di lepas. Kedua jalur yang kini sedang berlaga saling
berlomba untuk menjadi yang pertama sampai di pancang finish. Anak coki kedua
jalur mulai berdiri dan menari-nari.
“KAAAAAYUUUUAAAAAH” Teriakan timboruang (anak pacu yang
terletak di tengah jalur bertugas membuang air yang masuk ke jalur) menambah
semangat anak-anak pacu mengayuh jalur. Sambil memukul-mukul air ia terus
berteriak membakar semangat anak-anak pacu siang hari yang panas itu. Tukang onjai tidak kalah heboh
bergoyang-goyang.
“Ada anak pacu
hanyut!!!” tiba-tiba seorang perawat berseru sambil mengarahkan telunjuknya ke
arah anak pacu yang terjatuh dari jalurnya. Bapak kemudi pompong lansung meng_engkol mesinnya. Namun pompong
tidak mau hidup. “ minyaknya habis..”bapak tersebut terlihat pucat.
“Apa? Bagaimana ini?”
kakak sangat panik. Kemudian menghubungi seseorang.
“Halo,, pompong kami kehabisan
minyak, jemput saya disini. Cepat!” kakak sedikit berteriak. Terlihat sangat
kesal dan agak emosi. Aku takut melihat ekpresi kakak. Dia begitu mengkuatirkan
anak pacu yang terjatuh itu.
“Sari, sari disini dulu
sama bapak kemudi ya? Kakak pindah kepompong satunya lagi untuk menolong anak
pacu yang terjatuh disana”
“Tapi kak,, “
“Kakak pasti akan
jemput sari disini. Okey?” kakak memegang kedua bahuku sambil menatap mataku.
Aku mengangguk mengiyakan, padahal sebenarnya aku ingin ikut bersama kakak. Aku
khawatir melihat kakak yang terlihat sangat cemas. Ada sesuatu yang mengganjal
dihatiku saat ini, entahlah apa itu.
Sebuah pompong P3K
mendekati pompong kami, kakak segera meloncat.
Aku ditinggal sendiri bersama bapak kemudi.
Pompong mereka segera
melaju meninggalkan kami. Gelombang dari pompong tersebut membuat pompong kami
sedikit bergoyang. Mulut kakak masih mengatakan sesuatu, tapi aku tidak tahu
apa yang dikatakannya karena pompong yang membawa kakak meleset jauh.
“Semuanya akan baik-baik saja, Sari” tiba-tiba
bapak kemudi berkata seakan mengarti perasaanku.
Kenapa
semua ini terasa aneh sekali. Otakku saling berdebat.
Akh! Tidak seharusnya aku seperti ini. Kakak pasti marah jika aku cengeng
seperti ini. Aku mengambil teropong dan melihat kedua jalur telah sampai
dipnacang finish. Semua dayung terangkat keatas dari jalur sebelah kanan
pertanda pacu undian pertama tlah mereka menangkan. Semua penomton ditepian
narosa berteriak senang, riuh gemuruh
Lalu ku arahkan
teropongku kea rah pompong yang di tumpangi oleh kakakku tadi. Terlihat sekilas
seseorang terjtuh dari pompong. Semua petugas P3K terlihat sibuk dan panik. Aku
tidak melihat kakak diantara para petugas yang berdiri diatas pompng. Aku hanya
melihat mereka semua sibuk dan heboh. Dimana
kakak?? Batinku.
“Ka.. kak..” aku tak bisa meneruskan kata-kata
lagi.
“Kenapa sari? ” bapak
kemudi berusaha memegang aku yang hamper terjatuh.
Dadaku semakin sesak
karena tidak bisa mengatakan apa-apa. Semua kata-kata yang ada yang diotakku
tersumbat dikerongkonganku. Kepalaku terasa berat sekali, aku masih berusaha
melihat kearah pompong kakak yang terihat samar. Selruh penonton seakan terdiam
ditempat mereka masing-masing. Hening. Dimensi waktu terasa berjalan dengan
slow motion yang lambat. Semakin lama semua terasa semakin gelap,gelap dan
HITAM.
***
Aku terbangun disebuah
ruangan yang dipenuhi bau obat-obatan. Otakku berputar dan akhirnya aku tahu,
ini dirumah sakit. Akh! Kepalaku terasa sakitAku mencoba berajak dari tempat
tidurku.
“Sari, kamu mau ke mana nak?” tiba-tiba ibu
menghampiriku dengan sedikit berlari-lari kecil.
“Dimana
kakak bu?” Tanyaku sedikit takut
Ibu memelukku dengan
erat seakan-akan aku akan pergi meninggalkannya “Kak Adit sudah pergi sayang.”
Jawab ibuku sambil menatap dalam mataku.
“Kakak pergi kemana bu?
Mengapa Sari di tinggal?” tanyaku. Ibu tidak menjawab pertanyaanku dan kembali
memelukku. Mau tidak mau yang pasti kakak tidak akan pernah kembali lagi.
Akhirnya aku tahu mengapa
kakak bertanya maukah aku menggantikannya menjadi dokter. Ternyata kakakku
mengidap semacam penyakit yang aneh. Ada jamur yang tumbuh di saluran
paru-parunya. Penyakit ini ternyata telah lama ia idap. Namun ia tidak pernah
bercerita kepada Ayah dan Ibu karena kakak takut mengecewakan ayah dan ibu.
Ayah sangat mengharapkan kakak menjadi seorang dokter.Hal itulah yang membuat
kakak bertahan selama itu. Dan hanya denganku lah kakak bercerita tentang
penyakitnya.
Aku hanya bisa bergumam
dalam hati, lagipula apa yang telah di
mengerti bocah 10 tahun sepertiku. Aku merasa bodoh tidak menanggapi
perkataan kakakku saat itu. Namun aku
berjanji akan menepati janji yang sudah terlanjur aku buat kepada kakakku saat
di warung soto.
***
“Begitulah pak, kisah
hidup saya. Saya hanya menjalankan tugas dan amanah yang di embankan kepada
saya. Saya juga ingin menepati janji saya kepada kakak saya.” Kata dokter muda
tersebut.
“Mari pak, saya tinggal dulu” lanjut dokter
muda sambil tersenyum ramah.
“Yah, mari dok” jawab si
anak pacu.
Gimana menurut lu pada? sedih ya? di tunggu komenn nya yo!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar